By LR
PAGI BLANK
Suasana pagi di apartemen keluarga
Prahatmaja, hening seperti biasanya. Bundanya sudah lama tiada, jadi Nurza
hanya tinggal berdua dengan sang ayah yang sangat sibuk bekerja. Ayahnya
bekerja sebagai salah satu CEO di perusahaan musik terkemuka. Dengan
pekerjaannya itu, ayahnya lebih sering ada di kantor dibanding berada di rumah.
Jadi tak aneh jika Nurza terbiasa mengurusi rumah sendirian. Mulai dari
membersihkan rumah, memasak hingga mencuci.
Ponsel Nurza berdering cukup
nyaring. Terlihat deretan nomor yang sudah sangat Nurza hapal diluar kepalanya,
nomor kantor ayahnya. “Halo? Ayah?”, sapa Nurza. “Halo, Sayang. Hari ini ayah
ada tugas ke luar kota selama satu bulan, kamu nggak apa kan sendirian di
apartemen?”. Nurza hanya menarik nafas panjang. “Nggak apa-apa, Ayah. Udah
biasa juga kok,””, jawab Nurza datar. Ayahnya merasa seperti tertimpa batu
besar saat mendengar jawaban Nurza. Maafkan
Ayah, batinnya. “Kamu mau Ayah bawakan apa?”, tanya Ayahnya. “Yang penting
Ayah pulang dengan selamat, itu udah cukup buat Zaza.”. Ayahnya hanya
mengangguk di seberang telepon sana. “Nanti Ayah akan cari sesuatu yang bagus
buat kamu. Tunggu Ayah pulang ya. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan sering
pulang malem. Inget, kamu cewek.”, ujar Ayahnya panjang lebar. Untuk kali ini
Nurza bisa tersenyum. “Ayah juga hati-hati.”, ujarnya sebelum menutup sambungan
telepon tersebut.
Setelah mengecek ulang isi tasnya
dan merapikan baju sekolahnya, Nurza memakai sepatu putih kesukaannya lalu
berangkat sekolah. Sambil menyematkan headset di kedua telinganya, Nurza berjalan
santai menuju halte bus dekat apartemennya. Sebenarnya sang ayah sempat ingin
memberikan Nurza mobil sekaligus supir pribadi untuk mengantarkannya
kemana-mana, tapi dia menolak karena lebih senang naik bus.
Jam ditangannya masih menunjukkan
pukul 6.15, padahal pelajaran awal masih dimulai pukul 7.15 pagi. Nurza memang
senang berangkat lebih pagi, selain karena udaranya yang masih cukup segar,
penumpang bus pun masih sepi terlebih dia memang tidak terlalu menyukai
keramaian. Nurza duduk di bangku yang dekat dengan pintu keluar bus, jadi dia
akan lebih gampang turun bus sekalipun misalnya bus tersebut banyak penumpang.
Begitu turun dari bus, Nurza
langsung dihadang oleh seorang cowok yang memakai seragam sekolah yang berbeda
darinya. Hito, dia adalah anak sekolah sebelah yang dulunya pernah satu SMP
dengannya. Tersebar gosip kalau Hito menyukai Nurza, tapi Hito tidak pernah
mengiyakan atau membantah gosip tersebut. Tapi ya siapapun bisa mengira-ngira hal
itu benar kalau melihatnya menunggu Nurza setiap pagi di halte tempat Nurza
turun, terlebih sekolahnya masih 2 km lagi dari sekolah Nurza.
Seperti biasa, Nurza hanya
memasang wajah datar dengan headset yang masih menempel di telinganya. “Ini bakpau
coklat sama susu vanilla kesukaan kamu buat sarapan.”. Hito mengacungkan
kantung tersebut ke depan maksudnya agar Nurza mengambilnya. Biasanya Nurza
hanya langsung mengambil kantung itu lalu berlalu sambil mengucapkan
“Makasih.”. Tapi karena penasaran dan sedikit kesal juga, akhirnya Nurza
melepas headsetnya dan memasukkannya ke kantung roknya. “Lu gak kesiangan tiap
hari dateng kesini dulu?”, tanyanya masih dengan wajah datarnya. “Akhirnya ada
kalimat lain yang bisa kamu ucapain selain ‘makasih.’”, ujar Hito senang, dia
tidak bisa menyembunyikan senyumannya walau mencoba untuk tetap cool. Nurza
tetap diam. “Sebenarnya hampir kesiangan, tapi gak masalah. Yang pasti bisa
mastiin kamu dapet sarapan, baru aku bisa tenang.”, lanjut Hito karena tahu
kalau Nurza menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Kalau gue minta lu berhenti
kesini, lu bakal nurut?”. Pertanyaan itu bikin Hito kembali tersenyum. Nurza udah bisa ngomong panjang sama gue, batinnya
senang. “Nurut, tapi dengan satu syarat. Deal?”. Nurza mengerutkan keningnya
bingung, dia tidak menduga kalau Hito akan menurutinya. Tapi dia juga takut
untuk melakukan kesepakatan dengan Hito, terlebih terdengar gosip kalau Hito
itu anak nakal di sekolahnya. “Deal deal apaan nih?”, tiba-tiba Rena muncul di
belakang Hito dan mengagetkan keduanya. Nurza tersenyum senang begitu melihat
Rena, sahabat baiknya itu. “Wah~ Bakpau coklat sama susu vanilla ya? Buat Nurza
lagi, To? Sekali-kali beliin buat gue juga kenapa? Gue larang lu ketemu Nurza
baru tau rasa.”, ujar Rena cepat. Kepribadiannya yang berbanding terbalik
dengan Nurza membuatnya seolah tidak tahu malu. “Siapa lu ngelarang-larang gue
ketemu Nurza?”, kesal Hito karena merasa momentnya tadi terganggu oleh Rena.
Nurza langsung berjalan mendekati Rena dan melingkarkan tangannya di leher
Rena. “Dia sahabat gue.”, balas Nurza. Hito tiba-tiba terdiam, bingung harus
membalas apa. Nurza membisikkan sesuatu ke telinga Rena.
“Oh, gitu. Gue ngewakilin Nurza
nih ya, To. Soal sarapan, sebenarnya gue selalu bawa sarapan buat kita berdua.
Jadi dia selalu sarapan tiap pagi, gak pernah terlewat, berterima-kasihlah pada
gue. Bakpau dan susu yang selalu lu kasih tiap pagi lu kasih ini, tetap kita
makan kok. Kadang dimakan sama Nurza, kadang sama gue, ato malah kadang kita
kasih ke teman-teman yang keliatannya kelaparan. Jangan sakit hati yak
gara-gara itu. Dan soal deal-deal-an yang tadi lu tawarin, kayaknya gak usah
deh, kan masalah ‘Nurza sarapan’ udah beres.”, jelas Rena panjang lebar sambil
membentuk tanda petik dengan kedua tangannya di udara saat menyebut ‘Nurza
sarapan”.
Hito masih terdiam, antara bingung
dan kaget karena penjelasan Rena tadi. “Jangan jadi blank gitu atuh. Nurza
ngerasa nggak enak kalo lu kesini tiap pagi cuma buat ngasih ini doang padahal
sekolah lu masih jauh dari sini. Gue pastiin dia akan selalu sarapan tiap hari,
jadi lu gak perlu terlalu melankolis apalagi lu, sorry, bukan siapa-siapanya
Nurza.”. Kalimat itu makin membuat Hito terdiam. Selama ini dia mengira dengan
Nurza menerima makanan yang dibawanya setiap hari menunjukkan ketertarikan
Nurza padanya, padahal itu hanya perasaan bersalah karena membuatnya selalu
datang ke sekolah hampir terlambat. Sekarang kenapa dia tahu kenapa sangat
banyak cowok yang begitu penasaran pada Nurza. “Ya sudah kalau gitu mah, gue gak
bakal dateng sini lagi buat bawain sarapan. Tapi lu harus laporan tiap pagi
kalo Nurza sarapan. Deal?”, ujar Hito sambil menjulurkan tangannya kearah Rena.
“Deal. Lagian gak susah banget bikin dia sarapan.”. Kesepakatan pun terjadi.
===
tbc
tbc